Recalling Empat Tahun Perjalanan Menempuh Pendidikan Sarjana

img_20151116_114317

Gedung Balairung yang terletak persis di seberang Danau Kenanga memiliki sebuah ruangan berdinding kaca yang menghadap ke arah danau. Ruangan itu biasa digunakan untuk kepentingan staf universitas untuk mengurus keperluan atribut para mahasiswa. Empat tahun yang lalu misalnya, saat saya masih mahasiswa baru, ruangan itu digunakan untuk pelayanan pengambilan jaket kuning (jakun), jaket almamater kebanggaan mahasiswa Universitas Indonesia. Sampai hari ini ruangan itu nampak masih difungsikan untuk kepentingan yang sama. Bedanya hari ini karyawan tidak melayani pengambilan jaket almamater melainkan seperangkat baju toga yang dijadwalkan akan digunakan untuk upacara wisuda 26 Agustus mendatang.

Sore itu Gedung Balairung sedang tidak banyak pengunjung. Di ruangan berdinding kaca itu hanya nampak beberapa staf universitas dan tiga orang mahasiswa yang sedang menjajal mengenakan toga sambil berfoto-foto ria. Seorang bapak berusia paruh baya langsung berdiri sigap saat saya masuk ke dalam ruangan. Dia menghampiri meja yang penuh tumpukan kertas sambil menyunggingkan senyum.

“Reguler atau Paralel?”, tanyanya tanpa basa basi. “Reguler”, jawab saya singkat. “Bisa lihat berkas-berkasnya?”, tanyanya lagi. Tanpa menjawab, saya segera menyerahkan berkas yang dimaksud. Setelah beberapa detik memeriksanya, sang bapak paruh baya itu berbalik arah dan berjalan menuju tumpukan di sudut ruangan. Saat kembali, ia menyerahkan sebuah bungkusan berisi toga berbaret jingga yang masih rapi di dalam kemasan plastiknya. “Ukuran S, ya. Coba diperiksa”, katanya.

Saya membuka pita kemasan yang melekatkan penutup plastik itu sesuai perintah sang bapak. Mengeluarkan isinya satu persatu dan ya, semuanya lengkap. “Bisa tidak cara memakainya?”, tanya sang bapak kemudian. “Uhmm, saya pikir begitu, Pak”, jawab saya sambil menyengir lucu. Tentu saja, beberapa kali menghadiri undangan wisuda dari teman-teman senior membuat saya familiar dengan atribut wisuda tersebut. Namun karena sang bapak sangat antusias membantu, saya membiarkannya. Saat berusa melilitkan atribut berwarna kuning-jingga di bagian leher, saya meringis menahan senyum.

***

img_20160610_141700

SETELAH mengucapkan terima kasih kepada sang bapak, saya berjalan menuruni tangga yang langsung mengarah ke lantai dasar Balairung. Tidak ada lagi acara untuk hari ini. Saya pun berencana untuk segera membawa kaki melenggang ke arah Stasiun Pondok Cina. Pulang. Namun entah mengapa pemandangan yang terlihat dari sebuah ruang terbuka yang juga menghadap persis ke arah danau Danau Kenanga mendadak menyita perhatian saya. Sore itu Danau Kenanga memang tampak bersahaja, tenang dan menghembuskan kesan damai. Dengan sendirinya, kaki saya melangkah menuju ke arahnya dan mengambil posisi ternyaman di tepi handrail. Diajaknya saya menikmati suasana sore itu, membiarkan pikiran saya menerawang kembali ke sebuah masa di mana saat itu saya masih berjuang menyelesaikan deadline tugas akhir.

Ya. Kurang lebih tiga bulan yang lalu, setidaknya, saya masih banyak bergelung dengan berkas-berkas tugas akhir. Puluhan berkas berserakan di lantai kamar. Setiap hari laptop tua yang menemani hampir empat tahun ini tidak pernah mati. Terkadang saya bisa terjaga hingga larut malam. Menjelang deadline, kebiasaan itu menjadi lebih parah lagi, saya sampai tidak tidur. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, namun berjuang di tengah-tengah keputusasaan, tekanan, dan terkadang kegalauan yang muncul secara tiba-tiba rasanya memang luar biasa, menguras seluruh tenaga hingga ke sendi-sendi tulang. Saat itu pertengahan bulan Mei saat kesabaran dan kegigihan saya tengah diuji. Saya tahu, menulis thesis tentang Kawal Pemilu (kawalpemilu.org) adalah keputusan yang cukup berani.

Saya hanya sempat berpikir, andai saja saya tidak harus mendengarkan nasehat Mas Herman atau tidak bersikeras mempertahankan idealisme saya untuk melakukan penelitian mandiri, mungkin saya tidak akan berada dalam kondisi tertekan seperti saat itu. Dan mungkin saya akan lulus lebih cepat, 3,5 tahun (dan bukan 4 tahun). Harus saya akui, keputusan yang saya buat di semester enam itu sempat membuat saya begitu tertekan.

Tekanan itu lebih seperti beban tanggungjawab yang harus saya pikul terkait dengan orang-orang yang ada di dalam topik thesis yang saya pilih. Jadi ketika saya memutuskan lulus dengan jalur skripsi, bukan lagi soal pengajar atau nilai yang saya pusingkan, tetapi karena ini berkaitan dengan orang lain. Topik ini berkaitan dengan isu-isu sensitif yang bahkan masih lantang diteriakkan sampai hari ini. Selain itu, pada akhirnya saya berhadapan langsung dengan para ksatria Pandawa. Oh, memikirkannya saja bisa membuat saya mulas seharian.

Butuh waktu satu tahun bagi saya untuk menyelesaikan tulisan tersebut.  Setelah melewati proses panjang mulai dari pembuatan desain penelitian, pretest, pengumpulan data, pengolahan, hingga berbagai revisi penulisan hasil, akhirnya thesis itu berhasil dirampungkan. Pada tanggal 10 Juni 2016, lima buah copy thesis bertanda tangan pembimbing resmi saya kirim ke departemen untuk disiapkan sebagai bahan uji. Tak lama setelah itu, pada hari Selasa, 21 Juni 2016, departemen merilis jadwal di mana saya harus menjalani sidang.

img_20160716_142723

Antara senang namun juga tegang, hari itu saya menjalani serangkaian acara sidang. Waktu presentasi berjalan sekitar 15 menit, dan  setelahnya diisi oleh sesi tanya-jawab seputar isi dari thesis yang saya tulis. Pertanyaan dimulai dari penguji ahli, Prof. Iwan Gardono Sujatmiko, P.hD dilnjutkan dengan pembimbing thesis, Drs. Ganda Upaya, M.A, Mba Ira dan Mas Yerus, selaku ketua dan sekertaris prodi. Sebenarnya tidak banyak momen sidang yang bisa saya ceritakan kembali— saat itu saya terlalu tegang sehingga tidak sempat memikirkan apa saja yang terjadi selama di dalam ruang sidang. Mungkin biarlah secarik kertas ini yang selanjutnya menggantikan saya untuk bercerita. Saya hanya bisa mengucap syukur atas anugerah Tuhan yang telah diberikan. Meski masih harus memperbaiki beberapa poin, saya anggap sebagai hal biasa karena bagaimanapun tidak ada penelitian yang sempurna di dunia ini. Saya cukup senang dengan apresiasi yang diberikan oleh para penguji, “Tulisan ini adalah kajian yang baru. Kamu harus meneruskannya di masa mendatang”, kata Prof. Iwan. Pada akhirnya, setelah empat tahun meniti jenjang studi ini, ada hasil yang bisa saya perjuangkan kembali di kemudian hari. Tidak sia-sia saya bekerja keras setiap hari…

Maka dengan mantap saya menjawab, “Ya, Pak”. Dan untuk pertama kalinya selama di dalam ruang sidang, saya bisa menggerakkan bibir dengan leluasa. Tersenyum. Pada saat yang sama saya menjabat tangan-tangan yang menyelamati saya atas keberhasilan saya dalam mempertahankan thesis. “Selamat ya, Amtina Fathul Latifah, S.Sos”, kata Mba Ira.

S.Sos… Sarjana Sosial… muka saya menunduk. Malu… dan haru.

Saya masih tidak menyangka, saat saya keluar dari ruangan ini, saya telah dinyatakan lulus dari perguruan tinggi ini.

***

SAYA menghela nafas dalam dan membuang pandangan ke seberang. Matahari di Barat mulai bergerak menuju ke arah garis cakrawala. Mengingat momen-momen sidang itu membuat saya bahagia. Akhirnya, ada sesuatu yang bisa saya banggakan setelah empat tahun lamanya berjuang.

Namun dibalik perasaan bahagia itu, kembali ada perasaan mengganjal yang menyelimuti hati saya. Ya, beberapa hari lagi upacara wisuda akan segera dilangsungkan. Artinya, setelah upacara itu selesai, saya bukan apa-apa lagi di kampus tercinta ini. Seperti anak ayam yang baru disapih, saya akan mengarungi segalanya sendiri mulai esok hari.

Tentu saja, tantangan di kemudian hari akan lebih keras dan menantang. Ibarat kata, sidang bukanlah apa-apa. Petualangan yang sebenarnya baru akan dimulai. Dan di sinilai muncul pertanyaan terbesarnya: dapatkah saya mengarungi derasnya arus di kehidupan mendatang?

***

MUM tiba di Jakarta tiga hari sebelum upacara wisuda. Begitu Mum datang, kami berdua langsung sibuk mempersiapkan keperluan wisuda. Kami sengaja menyewa penginapan di dekat kampus agar tidak terlambat. Rumah di Jakarta terlalu jauh, dan akan dipastikan terlambat karena macet.

Rangkaian upacara wisuda terdiri dari dua bagian, diawali dengan gladi resik (pada tanggal 25 Agustus) dan diakhiri dengan hari H upacara wisuda  (pada tanggal 26 Agustus). Layaknya upacara sungguhannya, para wisudawan diundang untuk mengikuti serangkaian acara yang akan dilaksanakan esok hari. Upacara wisuda dilaksanakan di Balairung, sebuah balai pertemuan besar yang bergandengan dengan tempat yang sama ketika saya mengambil baju toga.

Sejujurnya tidak ada yang cukup spesial dari acara gladi resik karena yang dinanti adalah upacara sungguhannya. Pada hari H upacara wisuda, wisudawan dan tamu undangan mulai masuk ke Gedung Balairung pada pukul 13.00. Dalam sekejab, ribuan tamu undangan memenuhi ruangan. Di saat yang bersamaan, para wisudawan dari seluruh fakultas juga langsung memadati Balairung yang gegap gempita dengan alunan musik orkestra dan paduan suara mahasiswa Universitas Indonesia.

Mata saya nanar memandangi setiap elemen yang ada di dalam. Orang-orang yang ada di dalamnya, tahap demi tahap acara wisuda, membuat saya diliputi perasaan yang tidak karuan. Musik agung yang mengalun membuat jantung saya berdentum-dentum, mencampuradukkan antara perasaan senang, bangga, dan haru. Saat tiba mengucapkan janji wisudawan, rasanya pecah, pertahanan diri saya runtuh tidak bisa lagi membendung luapan perasaan yang sedari tadi saya tahan.

Ini adalah momentum yang sagat sakral dalam hidup saya. Mulai detik ini, kehidupan yang baru akan dimulai. Kini masing-masing dari kami bertanggungjawab atas tugas dan peran yang baru. Ketika saya menggemakan kata-kata itu, saya tahu bahwa janji itu akan mengikat sehidup semati.

Veritas, Probitas, Iustitia…

Tidak terasa kedua belah mata saya terasa kabur, basah. Betapa mulianya tugas yang diembankan kepada kami. Meski saya tahu, tak mudah untuk menjalani tanggung jawab yang besar ini. Namun di dalam upacara itu saya berdoa agar saya dan seluruh lulusan di UI mampu menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Amin…

***

UPACARA wisuda berlangsung dengan khidmad. Meski terkadang diselangi canda dan tawa yang begitu mengocok perut, acara berjalan dengan sangat menyenangkan. Usai penutupan, acara dilanjutkan dengan jabat tangan, pelukan dan saling memberi selamat. Mendadak ruangan yang semula dipenuhi hiruk pikuk, kini dibanjiri suasana haru biru.

img-20160826-wa0011

Upacara wisuda berlangsung terasa begitu singkatnya. Sesingkat kesenangan yang sempat saya rasakan selama di dalam aula bersama teman-teman. Dua hari setelahnya Mum pun kembali ke Yogyakarta. Sementara itu, saya mulai menyusun kembali rencana-rencana di esok hari.

Lalu, apakah yang akan saya lakukan setelah ini? Well, jika diberikan kesempatan, saya ingin mendalami kembali perkembangan gerakan sosial di era internet. Saya ingin meneruskan studi di luar negeri dan menekuni bidang keahlian tersebut. Sembari mempersiapkan hal tersebut, saya ingin mencari pengalaman kerja terlebih dulu. Menjadi ilmuwan sosial (social researcher) membuat saya menyukai riset dan pengolahan data. Jadi mungkin saya tidak akan bekerja jauh-jauh dari kedua hal tersebut. Saya hanya berharap bekerja dan memiliki uang tidak mambuat saya lupa dengan keinginan saya menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Konon banyak orang yang terlena setelah memiliki banyak uang dan saya tidak ingin hal tersebut terjadi.

©Tina Latief 2016

Catatan: 
Menurut aturan UI, saya tidak diperbolehkan menggunakan kata tanya (Bagaimana) di dalam judul meski di dalam konteks itu difungsikan sebagai nounclause (penulisan thesis ini sebelumnya direncanakan berbahasa Inggris). Saya diminta untuk merevisi judul thesis agar sesuai dengan aturan yang berlaku. Berikut hasil revisi tulisan tersebut:

Judul sebelum revisi:
Bahasa: Melindungi Proses Demokrasi di Indonesia: Bagaimana Kawal Pemilu Mempromosikan Transparansi Menggunakan Teknologi
Inggris: Protecting The Democratic Process in Indonesia: How Kawal Pemilu Promote Transparency Using Technology

Judul sesudah revisi:
Bahasa: Melindungi Proses Demokrasi di Indonesia Melalui Teknologi: Peranan Kawal Pemilu dalam Mempromosikan Transparansi Pemilu Presiden 2014
Inggris: Protecting The Democratic Process in Indonesia Through Technology: The Role of Kawal Pemilu in Promoting Transparency in The 2014 Presidential Election

copy-of-introducing

12 thoughts on “Recalling Empat Tahun Perjalanan Menempuh Pendidikan Sarjana

Any comments? just post!